KESALAHAN
MAKALAH
Disusun dan Diajukan Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Hukum Pidana
Dosen Pengampu: Evi Nurul Hidayati, S.H

Disusun oleh:
Aisyah Nuriyantari
Iskandar
Program Studi Muamalah
JURUSAN SYARAIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AN-NAWAWI(STAIAN)
PURWOREJO
2014
I.
Pendahuluan
“Tidak
dipidana jika tidak ada kesalahan”, itulah suatu hubungan antara sebab dan akibat
yang saling berkesinambuangan dalam kehidupan manusia dengan aturan hukum Negara. Tentunya adanya hukum yang mengatur manusia bukanlah
suatu penghalang kebebasan manusia untuk melakukan suatu tindakan, akan tetapi
adanya hukum itu adalah untuk mengemudi tindakan manusia agar tidak berjalan di
lintasan kegelapan. Maka tindak pidana hanyalah menunjuk kepada dilarang dan
diancamnya perbuatan itu dengan suatu pidana, kemudian apakah orang yang
melakukan perbuatan itu juga dijatuhi pidana sebagaimana telah diancamkan akan
sangat tergantung pada soal “apakah dalam melakukan perbuatannya itu si
pelaku juga mempunyai kesalahan”.
Kesalahan dalam hukum pidana yang dimaksud disini adalah suatu tindakan dari hukum
pidana terhadap pelaku yang melakukan kesalahan dan tidak selamanya kesalahan
itu akan dikenai sanksi pidana, itupun jikalau pelaku mempunyai alasan yang
dapat menggugurkan tindak pidana yang akan menghukumnya. Untuk lebih jelasnya
maka mari kita diskusikan makalah yang telah kami buat ini.
II.
Rumusan masalah
A.
Apakah yang dimaksud dengan kesalahan?
B.
Unsur-unsur apasjakah yang ada dalam kesalahan?
C.
Ada berapakah bentuk-bentuk dalam kesalahan?
D.
Adakah alasan yang dapat menghapus kesalahan?
III.
Pembahasan
A. Pengertian Kesalahan
Kesalahan dalam
arti luas memiliki pengertian yang sama dengan pertanggungjawaban dalam hukun
pidana. Kemudian kesalahan dalam arti sempit yaitu kesalahan
berarti ke-alpaan[1]. Kesalahan
dalam arti bentuk kesalahan yaitu: “kesalahan disengaja (dolus/opzet):
Prinsip dari kesengajaan dalam Memori van Toeliching adalah mengetahui (weten)
dan menghendaki (willen) kesalahan karena ke alpaan: Ke-alpaan terjadi bila
pelaku mengetahui tetapi secara tidak sempurna karena dalam ke-alpaan seseorang
mengalami sifat kekurangan ”.[2]
Sedangkan
kesalahan dalam hukum pidana disini
diartikan sebagai tiada pidana tanpa perbuatan yang tidak patut yang objektif,
yang dapat dicelakan kepada pelakunya.[3]
Adapun
beberapa pendapat dari pakar hukum pidana tentang kesalahan yang pada hakikatnya adalah
pertanggungjawaban pidana. Pendapat-pendapat
tersebut yaitu:
1.
MEZGER mengatakan: kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi
dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pelaku tindak pidana.
2.
SIMONS mengartikan kesalahan itu sebagai pengertian yang “sociaal
ethisch” dan mengatakan antara lain: “Sebagai dasar untuk pertanggungan
jawab dalam hukum pidana ia berupa keadaan psychisch dari si pelaku dan
hubungannya terhadap perbuatannya,” dan dalam arti bahwa berdasarkan keadaan
psychisch (jiwa) itu perbuatannya dapat dicelakakan kepada si pelaku”.
3.
VAN HAMEL mengatakan, bahwa “kesalahan dalam suatu delik
merupakan pengertian psychologis, perhubungan antara keadaan jiwa si pelaku dan
terwujudnya unsur-unsur delik karena perbuatannya. Kesalahan adalah pertanggungan
jawab dalam hukum”.
4.
VAN HATTUM berpendapat: “Pengertian kesalahan yang paling luas
memuat semua unsur dalam mana seseorang dipertanggungjawabkan menurut hukum
pidana terhadap perbuatan yang melawan hukum, meliputi semua hal, yang bersifat
psychisch yang terdapat dapat keseluruhan yang berupa strafbaarfeit termasuk si
pelakunya”.[4]
B. Unsur-Unsur
Kesalahan
Kesalahan dalam pertanggungjawaban pidana dimana meliputi :
1.
Adanya kemampuan bertanggungjawab pada sipelaku (Schuldfahigkeit atau
Zurechnungsfahigkeit); artinya keadaan jiwa sipelaku harus normal. Disini
dipersoalkan apakah orang tertentu menjadi “Normadressat” yang mampu.
2.
Hubungan batin antara sipelaku dengan perbuatannya, yang berupa kesengajaan
(Dolus) atau ke-alpaan (Culpa), ini disebut bentuk-bentuk kesalahan. Dalam hal
ini dipersoalkan sikap batin seseorang pelaku terhadap perbuatannya.
3.
Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan
pemaaf meskipun apa yang disebut dalam a dan b ada, ada kemungkinan bahwa ada
keadaan yang mempengaruhi sipelaku sehingga kesalahannya hapus, misalnya dengan
adanya kelampauan batas pembelaan terpaksa.
Kalau ketiga-tiga unsur ada maka orang yang bersangkutan bisa
dinyatakan bersalah atau mempunyai pertanggungan jawab pidana, sehingga bisa
dipidana.
Dari pada itu harus, diingat bahwa untuk adanya kesalahan dalam
arti yang seluas-luasnya
(pertanggungan jawab pidana) orang
yang bersangkutan harus pula
dibuktikan terlebih dahulu bahwa perbuatannya bersifat melawan hukum. Kalau ini
tidak ada, artinya, kalau perbuatannya tidak melawan hukum maka tidak ada
perlunya untuk menerapkan kesalahan sipelaku. Sebaliknya seseorang yang
melakukan perbuatan yang melawan
hukum tidak dengan sendirinya mempunyai kesalahan, artinya tidak dengan
sendirinya dapat dicela atas perbuatan itu. Itulah sebabnya, maka kita harus
senantiasa menyadari akan dua pasangan dalam syarat-syarat pemidaan ialah
adanya:
1.
Dapat dipidananya perbuatan (strafbaarheid van het feit)
2.
Dapat dipidananya orangnya atau pelakunya (strafbaarheid van de
persoon).[5]
C.
Bentuk-Bentuk Kesalahan
Ilmu hukum
pidana mengenal dua bentuk kesalahan, yaitu kesengajaan atau dolus dan
ke-alpaan atau culpa. Sebagian besar pasal-pasal dalam KUHP membuat
kesalahan dalam bentuk kesengajaan dengan menggunakan berbagai rumusan, di
samping beberapa tindak pidana yang dilakukan dengan ke-alpaan, misalnya saja
pada Pasal 359 dan 360 KUHP yang sering diterapkan di dalam kasus kecelakaan
lalu lintas. Beberapa bentuk kesalahan yaitu :
1.
Kesengajaan
(dolus)
Dolus dalam
bahasa Belanda disebut opzet dan dalam bahasa inggris disebut intention yang
dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sengaja atau kesengajaan.
KUHP sendiri tidak
menjelaskan pengertian kesengajaan dan ke-alpaan itu. Oleh Memori van
Toeliching dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan kesengajaan adalah willens
en watens yang artinya adalah menghendaki dan menginsyafi atau
mengetahui atau secara agak lengkap seseorang yang melakukan suatu
perbuatan dengan sengaja harus menghendaki perbuatannya itu dan harus
menginsyafi atau mengetahui akibat yang mungkin akan terjadi karena
perbuatannya. [6]
2.
Culpa atau Ke-alpaan
Arti kata culpa
atau kelalaian ini ialah kesalahan pada umumnya, akan tetapi culpa pada ilmu
pengetahuan hukum mempunyai arti teknis
yaitu suatu macam kesalahan sebagai akibat kurang berhati-hati sehingga secara
tidak sengaja sesuatu terjadi. KUHP tidak menegaskan apa arti ke-alpaan sedang
Vos menyatakan bahwa culpa mempunyai dua unsur yaitu:
a)
Kemungkinan
pendugaan terhadap akibat
b)
Tidak
berhati-hati mengenai apa yang diperbuat atau tidak diperbuat.
Bentuk
kesalahan yang kedua adalah ke-alpaan atau culpa. Keterangan resmi pembentuk
KUHP mengenai persoalan mengapa culpa juga diancam dengan pidana, walaupun
dengan ringan, adalah bahwa berbeda dengan kesengajaan atau dolus yang sifatnya
menentang larangan justru dengan melakukan perbuatan yang dilarang.Beberapa pakar
memberikan pengertian atau syarat culpa sebagai berikut: Menurut Simons
mempersyaratkan dua hal: tidak adanya kehati-hatian dan kurangnya perhatian terhadap kaibat yang
mungkin terjadi. Menurut Van Hamel ada dua syarat yaitu: tidak adanya penduga-duga yang diperlukan, dan
tidak adanya kehati-hatian yang diperlukan.[7]
D.
Alasan Penghapus Kesalahan
Alasan atau Dasar Penghapusan Pidana merupakan hal-hal atau keadaan
yang dapat mengakibatkan seseorang yang telah melakukan perbuatan yang dengan
tegas dilarang dan diancam dengan hukuman oleh UU Pidana (KUHP), tidak dihukum,
karena :
1.
Orangnya tidak dapat dipersalahkan;
2.
Perbuatannya tidak lagi merupakan perbuatan yang melawan hukum.
Bab
I dan Bab II KUHP memuat: “Alasan-alasan yang menghapuskan, mengurangkan dan
memberatkan pidana”. Pembicaraan
selanjutnya akan mengenai alasan penghapus pidana, aialah alasan-alasan yang
memungkinkan orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi rumusan delik, tidak
dapat dipidana. M.v.T dari KUHP (Belanda) dalam penjelasannya mengenai alasan
mengahpus pidana ini, mengemukakan apa yang disebut “alasan-alasan tidak dapat
dipertanggungjawabkannya seseorang atau alasan-alasan tidak dapat dipidananya
seseorang”. M.v.T menyebut 2 (dua) alasan:[8]
1.
Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak
pada diri orang itu (inwendig), yakni
:
a.
Pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna atau terganggu karena sakit
(pasal 44 KUHP)
b.
Umur yang masih muda (mengenai umur yang masih muda ini di Indonesia
dan juga di negeri Belanda sejak tahun 1905 tidak lagi merupakan lasan
penghapus pidana melainkan menjadi dasar untuk memperingan hukuman).
2.
Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak
di luar orang itu (uitwendig), yaitu:
a.
Daya paksa atau overmacht
(pasal 48);
b.
Pembelaan terpaksa atau noodweer
(pasal 249);
c.
Melaksanakan Undang-undang (pasal 50);
d.
Melaksanakan perintah jabatan (pasal 51);
Selain
perbedaan yang diterangkan dalam M.v.T, ilmu pengetahuan hukm Pidana juga
mengadakan pembedaan sendiri, ialah :
1.
Alasan penghapus pidana yang umum (starfuitingsgronden yang umum), yaitu yang berlaku umum untuk
tiap-tiap delik dan disebut dalam pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUHP;
2.
Alasan penghapus pidana yang khusus (starfuitingsgronden yang khusus), yaitu yang hanya berlaku unutk
delik-delik tertentu saja, misal :
a)
Pasal 166 KUHP : “Ketentuan-ketentuan pasal 164 dan 165 KUHP tidak
berlaku pada orang yang karena pemberitahuan itu mendapat bahaya untuk dituntut
sendiri dan seterusnya………………………………………” Pasal 164 dan 165 memuat ketentuan :
bila seseorang mengetahui ada makar terhadap suatu kejahatan yang membahayakan
Negara dan Kepala Negara, maka orang tersebut harus melaporkan.
b)
Pasal 221 ayat (2) : menyimpan orang yang melakukan kejahatan dan
sebagainya”. Disini ia tidak dituntut jika ia hendak menghindarkan penuntut
dari istri, suami dan sebagainya (orang-orang yang masih ada hubungan darah).[9]
Ilmu penetahuan
hukum pidana juga mengadakan pembedaan lain, sejalan dengan pembedaan antara
dapat dipidananya perbuatan dan dapat dipidananya pembuat. Penghapusan pidana
dapat menyangkut perbuatan atau pembuatnya, maka dibedakan dua jenis alasan
penghapus pidana :
a)
Alasan pembenar (rechtvaardigingsgrond,
fait justificatif, rechtfertigungsgrund). Alasan pembenar menghapuskan
sifat melawan hukumnya perbuatan, meskipun perbuatan ini telah memenuhi rumusan
delik dalam undang-undang. Kalau perbuatannya tidak melawan hukum maka tidak
mungkin ada pemidanaan. Alasan pembenar yang terdapat dalam KUHP ialah pasal 48
(keadaan darurat), pasal 49 ayat (1) (pembelaan terpaksa), pasal 50 (peraturan
perundang-undangan) dan pasal 51 (1) (perintah jabatan).
b)
Alasan pemaaf atau alasan penghapus kesalahan (schulduitsluittingsgrond-fait d’excuse, entschuldigungsdrund, schuldausschliesungsgrund). Alasan pemaaf menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti bahwa
orang ini tidak dapat dicela (menurut hukum) dengan perkataan lain ia tidak
bersalah atau tidak dapat dipertanggungjawabkan, meskipun perbuatannya bersifat
melawan hukum. Jadi disini ada alasan yang menghapuskan kesalahan si pembuat,
sehingga tidak mungkin pemidanaan.
Alasan pemaaf yang terdapat dalam KUHP
ialah pasal 44 (tidak mampu bertanggungjawab), pasal 49 ayat (2) (noodweer exces), pasal 51 ayat (2)
(dengan itikad baik melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah).
Adapun mengenai
pasal 48 (daya paksa) ada dua kemungkinan, dapat merupakan alasan pembenar dan
dapat pula merupakan alasan pemaaf.[10]
IV.
Kesimpulan
kesalahan adalah keseluruhan syarat yang
memberi dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap pelaku hukum pidana,
berhubungan antara keadaan jiwa pelaku dan terwujudnya unsur-unsur delik karena
perbuatannya. Unsur-unsur kesalahan yaitu, kesalahan adalah pertanggung jawaban
dalam hukum, adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pelaku, dalam arti jiwa
si pelaku dalam keadaan sehat dan normal. adanya hubungan batin antara si
pelaku dengan perbuataanya, baik yang disengaja (dolus) maupun karna ke-alpaan
(culpa), tidak adanya alasan pemaaf yang dapat menghapus kesalahan. Bentuk
kesalahan yaitu dolus dan culpa.
Daftar pustaka
Artikel Asas-Asas Hukum
Pidana, Pdf
Schaffmeister, Keijzer, Dan Sutorius, 2011. Hukum Pidana. Bandung: PT CITRA ADITYA BAKTI
[1] Ke-alpaan juga bisa disebut CULPA. Arti kata culpa atau kelalaian ini ialah
kesalahan pada umumnya, akan tetapi culpa pada ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti teknis yaitu suatu macam
kesalahan sebagai akibat kurang berhati-hati sehingga secara tidak sengaja
sesuatu terjadi.
[3]
Schaffmeister, Keijzer, Dan Sutorius, Hukum
Pidana(Bandung: PT CITRA ADITYA BAKTI. 2011). Hlm. 77
[8]
Artikel Asas-Asas Hukum Pidana, Pdf. Hlm.
279-280
[9] Artikel
Asas-Asas Hukum Pidana, Pdf. Hlm. 281
[10] Artikel
Asas-Asas Hukum Pidana, Pdf. Hlm. 282
Tidak ada komentar:
Posting Komentar