Wavy Cursor Tail 10 Kumpulan makalah: 2014

Jumat, 30 Mei 2014

HUKUM HARTA PERKAWINAN


HUKUM HARTA PERKAWINAN
MAKALAH
Disusun dan Diajukan Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Hukum Adat
Dosen Pengampu: Rifa’udin, S.Pd.I, MSI

Disusun oleh:
Iskandar
Mila Hidayatul A

Program Studi Muamalah
JURUSAN SYARAIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AN-NAWAWI(STAIAN)
PURWOREJO
2014
A.   Pendahuluan
Ketika seseorang memutuskan untuk membina rumah tangga, tujuan utamanya adalah membentuk keluarga yang bahagia dan memperoleh keturunan/buah hati guna melanjutkan tongkat estafet kekeluargaan kelak. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, diperlukan harta kekayaan duniawi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga, termasuk di dalamnya suami, istri dan anak-anak. Harta kekayaan tersebut disebut harta perkawinan. Tentunya diharapkan dengan adanya harta perkawinan ini, nantinya menjadi modal awal untuk menjalani kehidupan sebagai pasangan suami-istri.
Untuk lebih jelasnya, mari kita diskusikan tentang makalah yang telah kami buat ini, dan semoga makalah kami ini bisa menambah wawasan keilmuan bagi kita semua amien.




B.   Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian harta perkawinan?
2.      Bagaimana pemisahan harta perkawinan?







C.   Pembahasan
1.      Pengertian harta perkawinan
Dalam sebuah perkawinan, tujuan utamanya adalah membentuk keluarga yang bahagia dengan hadirnya buah hati. Sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 1 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, “perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Dengan komitmen hidup dalam ikatan perkawinan tersebut, dibutuhkan kekayaan duniawi untuk menunjang kelangsungan hidup mereka sehari-hari bersama anak-anaknya. Kekayaan duniawi inilah yang disebut harta perkawinan atau benda perkawinan atau harta keluarga ataupun harta benda keluarga.[1]
Menurut ketentuan pasal 35 undang-undang nomor 1 tahun 1974, harta perkawinan yaitu: “harta benda yang diperoleh selama perkawinan itu menjadi harta bersama.[2]
Adapun menurut Prof. H. Hilman Hadikusuma harta perkawinan adalah semua harta yang dikuasai, suami istri selama mereka terikat dalam ikatan perkawinan, baik harta kerabat yang dikuasai maupun harta perorangan yang berasal dari harta warisan, harta hibah, harta penghasilan sendiri, harta pencaharian hasil bersama suami istri dan barang-barang hadiah. Kesemuanya itu dipengaruhi oleh prinsip kekerabatan yang dianut setempat dan bentuk perkawinan yang berlaku terhadap suami istri yang bersangkutan.[3]
Suami dan istri sebagai satu kesatuan beserta anak-anaknya dalam dalam masyarakat adat dinamakan SOMAH atau SERUMAH (Gezin dalam bahasa Belanda). Sedangkan Kumpulan dari SOMAH-SOMAH yang merupakan keluarga yang besar disebut KERABAT (Fammilie dalam bahasa Belanda). Harta kekayaan yang merupakan kekayaan duniawi untuk memenuhi kebutuhan hidup SOMAH harus dibedakan dengan harta kerabat. Sehingga pada umumnya diperuntukkan pertama-tama bagi keperluan SOMAH yaitu suami, istri, dan anak-anak untuk membiayai kebutuhan hidupnya sehari-hari. [4]

2.      PEMISAHAN HARTA PERKAWINAN
Menurut Soerojo Wignjodipoero, SH (1995: 150) dinyatakan bahwa: harta perkawinan lazimnya dapat dipisah-pisahkan dalam 4 golongan sebagai berikut:
a.       Barang-barang yang diperoleh suami atau istri secara warisan atau penghibahan dari kerabat (famili) masing-masing dan di bawa ke dalam perkawinan.
b.      Barang-barang yang diperoleh suami atau istri untuk diri sendiri serta atas jasa diri sendiri sebelum perkawinan atau dalam masa perkawinan.
c.       Barang-barang yang dalam masa perkawinan diperoleh suami dan istri sebagai milik bersama.
d.      Barang-barang yang dihadiahkan kepada suami dan istri bersama pada waktu pernikahan.”[5]
Prof. H. Hilman Hadikusuma, SH dalam bukunya Hukum Perkawinan Adat menyebutkan bahwa: “dalam kedudukan harta perkawinan sebagai modal kekayaan untuk membiayai kehidupan rumah tangga suami istri, maka harta perkawinan itu dapat kita golongkan dalam beberapa macam, sebagaimana di bawah ini:
a.       Harta yang diperoleh / dikuasai suami atau istri sebelum perkawinan, disebut “harta bawaan”. Biasanya di dalam masa sebelum melanggsungkan perkawinan, para kerabat ataupun keluarga memberikan harta bawaan sebagai modal awal dalam mebina keluarga.[6] Harta bawaan ini dapat dibedakan antara harta peninggalan, harta warisan, harta hibah dan harta hadiah. harta seperti ini disebut PIMBIT (NGAJU- Dayak), SILSILA (Makasar) (BABAKTAN- Bali) (ASAL- ASELI-PUSAKA- Jawa- Jambi- Riau)      (GONO, GAWAN- Jawa) (BARANG SASAKA, BARANG BANDA, BARANG BAWA- Jawa Barat). Barang-barang atau harta ini tetap menjadi milik suami atau istri yang menerimanya dari warisan atau penghibahan, juga termasuk kalau mereka bercerai. Apabila salah satu dari mereka meninggal dunia serta mereka tidak mempunyai anak, maka barang-barang itu kembali kepada keluarga dari suami atau istri yang masih hidup.[7] Berikut akan kami terangkan mengenai macam-macam harta bawaan:
1)      Harta peninggalan adalah harta atau barang-barang yang dibawah oleh suami atau istri kedalam pernikahan yang berasal dari peninggalan orang taua untuk diteruskan penguasaan dan pengaturan pemanfaatanya guna kepentingan para ahli waris bersama, di kerenakan harta peninggalan itu tidak terbagi-bagi kepada setiap ahli waris.
2)      Harta warisan adalah harta atau barang-barang yang dibawah oleh suami atau istri kedalam perkawinan yang berasal dari harta warisan orang tua untuk dikuasai dan dimiliki secara perseorangan guna memelihara kehidupan berumah tangga.
3)      Harta wasiat adalah harta atau barang-barang yang dibawah oleh suami atau istri kedalam perkawinan yang berasal dari hibah atau wasiat anggota kerabat.
4)      Harta pemberian atau hadiah adalah harta atau barang-barang yang dibawah oleh suami atau istri kedalam perkawinan yang berasal dari pemberian atau hadiah para anggotas kerabat dan mungkin juga orang lain karena hubungan baik.[8]
b.      Harta yang diperoleh / dikuasai suami istri secara perseorangan sebelum atau sesudah perkawinan, disebut “harta penghasilan”.  Tidak sedikit seorang suami atau istri telah memiliki harta kekayaan sendiri yang diperolehnya dari kerja kerasnya sendiri. Harta kekayaan tersebut harta penghasilan. Harta penghasilan pribadi ini terlepas dari pengaruh kekuasaan kerabat, pemiliknya dapat saja melakukan transaksi atas harta kekayaan tersebut tanpa bermusyawarah dengan para anggota kerabat yang laim. Namun demikian, apabila barangnya adalah barang tetap, pada umumnya masih harus bermusyawarah.
Barang-barang yang diperoleh sebelum perkawinan di Sumatera Selatan disebut Harta Pembujangan kalau suami yang memperolehnya, sedangkan kalau yang memperolehnya adalah istri maka disebut Harta Penantian. Di Bali tanpa melihat siapa yang memperolehnya disebut Guna Kaya. Barang-barang yang diperoleh dalam masa perkawinan pada umumnya jatuh kedalam Harta Perkawinan, milik bersama suami istri dan apabila terjadi perceraian maka masing-masing dapat menuntut bagiannya. Asas ini sudah menjadi umum sehingga dimana asas ini tidak dapat diterima maka orang dapat mengatakan bahwa di tempat itu terjadi pengecualian.[9]
Di aceh setelah perkawinan adakalanya suami mendapat penghasilan sendiri dari hasil usahanya sendiri, terpisah dari harta pencaharian. Di Jawa Barat dalam bentuk perkawinan antara istri kaya dengan suami miskin (nyalindung kagelung), maka suatu harta kekayaan hasil pencaharian istri adalah hak milik istri itu sendiri, walaupun suami bersusah payah membantu dengan tenaganya. Di Jawa Tengah beda lagi, apabila terjadi perkawinan dimana suami lebih kaya dari istri, maka semua hasil pencaharian suami yang diperoleh dalam ikatan perkawinan adalah milik suami itu sendiri. [10]
c.       Harta yang diperoleh / dikuasai suami istri bersama-sama selama perkawinan, disebut “harta pencaharian”. Dengan dasar modal kekayaan yang diperoleh suami istri dari harta bawaan masing-masing dan harta penghasilan masing-masing sebelum perkawinan, maka setelah perkawinan dalam usaha suami istri membentuk dan membangun rumah tangga keluarga yang bahagia dan kekal, mereka berusaha mencari rizki bersama-sama, sehingga dari sisa belanja sehari-hari akan dapat terwujud harta kekayaan sebagai hasil pencaharian bersama.[11]
Dengan dasar tanpa mempedulikan apakah suami yang bekerja aktif dan istri mengurus rumah dan anak-anak. Harta yang suami-istri peroleh tersebut disebut “harta bersama suami-istri”.Kekayaan milik bersama suami istri ini disebut Harta Suarang- Minangkabau, Barang perpantangan- Kalimantan, Cakkara- Bugis, Druwe Gabro- Bali, Barang Gini, Gono Gini- Jawa.[12] Apabila salah seorang meninggal dunia, lazimnya semua milik bersama itu tetap berada di bawah kekuasaan pihak yang masih hidup, seperti halnya semasa perkawinan. Pihak yang masih hidup itu berhak untuk menggunakan barang-barang milik bersama itu guna keperluan hidupnya. Namun apabila keperluan sehari-hari sudah cukup, maka kelebihannya dapat dibagikan kepada ahli warisnya. Apabila ada anak, maka anaklah yang mendapat harta asal. Apabila tidak ada anak, maka dibagikan kepada kerabat suami dan kerabat istri.[13]
d.      Harta yang diperoleh suami istri bersama ketika upacara perkawinan sebagai hadiah, yang kita sebut “hadiah perkawinan”.[14]  Barang-barang yang diterima sebagai hadiah perkawinan pada waktu pernikahan biasanya diperuntukkan kepada kedua mempelai, baik yang berasal dari pemberian para anggota kerabat maupun bukan anggota kerabat. Oleh karenanya maka barang-barang tersebut menjadi harta milik bersama suami istri.[15] Akan tetapi, dilihat dari tempat, waktu dan tujuan pemberian hadiah itu, maka harta hadiah perkawinan dapat dibedakan antara yang diterima oleh mempelai pria, yang diterima oleh mempelai wanita, dan yang diterima kedua mempelai bersama-sama ketika upacara resmi pernikahan. Hadiah perkawinan yang diterima mempelai pria sebelum upacara perkawinan, misalnya berupa uang, ternak, dan lain-lain, dapat dimasukkan kedalam harta bawaan suami, sedangkan yang diterima mempelai wanita sebelum upacara perkawinan masuk dalam harta bawaan istri. Tetapi semua hadiah yang didapat ketika kedua mempelai duduk bersanding dan menerima upacara selamat dari para hadirin adalah harta bersama kedua suami istri, yang terlepas dari pengaruh kekuasaan kerabat, atau hanya dibawah pengaruh orang tua yang melaksanakan upacara perkawinan itu yang kedudukan hartanya diperuntukkan bagi kedua mempelai bersangkutan.[16]
Sebagai contoh, di daerah lampung, dalam upacara perkawinan, barang-barang ringan yang diperoleh saat mereka bersanding seperti kain atau yang sejenisnya diberikan kepada anggota kerabat atau tetangga yang telah membantu memberikan tenaganya di dapur, terutama kepada kaum wanita tua dan muda, yang sudah kawin maupun yang belum kawin. Sedangkan hadiah perkawinan yang berat dan berharga disimpan untuk dimanfaatkan kedua suami istri dalam pergaulan adat dan atau untuk dimanfaatkan bagi kepentingan membangun rumah tangga. Barang-barang hadiah ini merupakan hak milik bersama yang dapat ditransaksikan atas kehendak dan persetujuan bersam suami istri. Di daerah lain barang-barang hadiah perkawinan bercampur dengan harta pencaharian. Apabila terjadi pemberian hadiah uang atau barang oleh suami kepada istri pada saat pernikahan yang dalam hal ini merupakan “pemberian perkawinan suami”, hal ini seperti “jinamee” (Aceh), “sunrang” (Sulawesi selatan) atau “hook” (minahasa) begitu pula pemberian perhiasan dari suami kepada istri di tapanuli, maka kedudukan pemberian suami ini sama dengan “mas kawin” yang menjadi milik dari istri itu sendiri. Suami tidak boleh menggunakan barang-barang tersebut tanpa ada persetujuan dari istri.[17]

D.   Kesimpulan
Dalam uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa harta perkawinan adalah harta kekayaan yang dimiliki oleh suami istri, baik diperoleh sebelum perkawinan, berupa warisan, hasil kerja keras suami atau istri , hadiah pernikahan maupun harta kekayaan yang diperoleh suami istri secara bersama-sama. Dan harta perkawinan tersebut digunakan untuk menghidupi keluarga yang terbentuk dari perkawinan tersebut yakni suami, istri, dan anak-anak.


Daftar pustaka
Buku:
Hadikusuma, Hilman. 2003. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Bandung: Mandar Maju

Setiady, Tolib. 2009. Intisari Hukum Adat. Bandung: ALFABETA

Soeknto, Soerjono. 2010. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: PT RAJA GRAFINDO PERSADA


Website:



[2] Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2003), Hlm. 197
[3] Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat(Bandung: ALFABETA, 2009). Hlm. 273
[4] Ibid, Hlm. 274
[5] Soerjono Soeknto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT RAJA GRAFINDO PERSADA, 2010), Hlm. 244
[6] Soerjono Soeknto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT RAJA GRAFINDO PERSADA, 2010), Hlm. 245
[7] Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat(Bandung: ALFABETA, 2009). Hlm. 275
[9] Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat(Bandung: ALFABETA, 2009). Hlm. 277
[10] Ibid, Hlm. 278
[12] Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2003), Hlm. 197
[13] Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat(Bandung: ALFABETA, 2009). Hlm. 279
[15] Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat(Bandung: ALFABETA, 2009). Hlm. 280

ANALISIS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1992 TENTANG PERKOPERASIAN


ANALISIS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1992 TENTANG PERKOPERASIAN
Tugas
Disusun dan Diajukan Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Hukum Perdata
Dosen Pengampu: Muhajir, SHI. MSI
Disusun oleh: Iskandar
Nim: 01.12.00443

            Menurut UU. No. 25 tahun 1992, Koperasi adalah badan hukum yang didirikan oleh orang perseorangan atau badan hukum Koperasi, dengan pemisahan kekayaan para anggotanya sebagai modal untuk menjalankan usaha yang memenuhi aspirasi dan kebutuhan bersama di bidang ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan nilai dan prinsip koperasi.
            Pengembangan dan pemberdayaan koperasi nasional dalam kebijakan pemerintah selayaknya mencerminkan nilai dan prinsip perkoperasian sebagai wadah usaha bersama untuk memenuhi aspirasi dan kebutuhan ekonomi anggotanya. Dengan dasar itulah, Undang-undang Koperasi Nomor 25 Tahun 1992 perlu diganti, karena sudah tidak selaras dengan kebutuhan hukum dan perkembangan perkoperasian di Indonesia.
            Akhirnya lahir Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 menggantikan Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Inilah bentuk nyata dari ketidak relevanan  Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian di era modern saat ini.