HUKUM HARTA PERKAWINAN
MAKALAH
Disusun dan Diajukan Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Hukum Adat
Dosen Pengampu: Rifa’udin, S.Pd.I, MSI

Disusun oleh:
Iskandar
Mila Hidayatul A
Program Studi Muamalah
JURUSAN SYARAIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AN-NAWAWI(STAIAN)
PURWOREJO
2014
A.
Pendahuluan
Ketika
seseorang memutuskan untuk membina rumah tangga, tujuan utamanya adalah membentuk
keluarga yang bahagia dan memperoleh keturunan/buah hati guna melanjutkan
tongkat estafet kekeluargaan kelak. Untuk mewujudkan tujuan tersebut,
diperlukan harta kekayaan duniawi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga,
termasuk di dalamnya suami, istri dan anak-anak. Harta kekayaan tersebut
disebut harta perkawinan. Tentunya diharapkan dengan adanya harta perkawinan
ini, nantinya menjadi modal awal untuk menjalani kehidupan sebagai pasangan
suami-istri.
Untuk lebih
jelasnya, mari kita diskusikan tentang makalah yang telah kami buat ini, dan
semoga makalah kami ini bisa menambah wawasan keilmuan bagi kita semua amien.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian harta perkawinan?
2.
Bagaimana
pemisahan harta perkawinan?
C.
Pembahasan
1.
Pengertian
harta perkawinan
Dalam sebuah perkawinan, tujuan utamanya adalah membentuk keluarga yang
bahagia dengan hadirnya buah hati. Sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 1
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, “perkawinan ialah ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.” Dengan komitmen hidup dalam ikatan perkawinan
tersebut, dibutuhkan kekayaan duniawi untuk menunjang kelangsungan hidup mereka
sehari-hari bersama anak-anaknya. Kekayaan duniawi inilah yang disebut harta
perkawinan atau benda perkawinan atau harta keluarga ataupun harta benda
keluarga.[1]
Menurut ketentuan pasal 35 undang-undang nomor 1 tahun 1974, harta
perkawinan yaitu: “harta benda yang diperoleh selama perkawinan itu menjadi
harta bersama.[2]
Adapun menurut Prof. H. Hilman Hadikusuma harta perkawinan adalah semua
harta yang dikuasai, suami istri selama mereka terikat dalam ikatan perkawinan,
baik harta kerabat yang dikuasai maupun harta perorangan yang berasal dari
harta warisan, harta hibah, harta penghasilan sendiri, harta pencaharian hasil
bersama suami istri dan barang-barang hadiah. Kesemuanya itu dipengaruhi oleh
prinsip kekerabatan yang dianut setempat dan bentuk perkawinan yang berlaku
terhadap suami istri yang bersangkutan.[3]
Suami dan istri sebagai satu kesatuan beserta anak-anaknya dalam dalam
masyarakat adat dinamakan SOMAH atau SERUMAH (Gezin dalam bahasa Belanda).
Sedangkan Kumpulan dari SOMAH-SOMAH yang merupakan keluarga yang besar disebut
KERABAT (Fammilie dalam bahasa Belanda). Harta kekayaan yang merupakan kekayaan
duniawi untuk memenuhi kebutuhan hidup SOMAH harus dibedakan dengan harta
kerabat. Sehingga pada umumnya diperuntukkan pertama-tama bagi keperluan SOMAH
yaitu suami, istri, dan anak-anak untuk membiayai kebutuhan hidupnya
sehari-hari. [4]
2.
PEMISAHAN HARTA
PERKAWINAN
Menurut Soerojo Wignjodipoero, SH (1995: 150) dinyatakan bahwa: harta
perkawinan lazimnya dapat dipisah-pisahkan dalam 4 golongan sebagai berikut:
a. Barang-barang yang diperoleh suami atau istri secara warisan atau
penghibahan dari kerabat (famili) masing-masing dan di bawa ke dalam
perkawinan.
b. Barang-barang yang diperoleh suami atau istri untuk diri sendiri serta atas
jasa diri sendiri sebelum perkawinan atau dalam masa perkawinan.
c. Barang-barang yang dalam masa perkawinan diperoleh suami dan istri sebagai
milik bersama.
d. Barang-barang yang dihadiahkan kepada suami dan istri bersama pada waktu
pernikahan.”[5]
Prof. H. Hilman Hadikusuma, SH dalam bukunya Hukum Perkawinan Adat
menyebutkan bahwa: “dalam kedudukan harta perkawinan sebagai modal kekayaan
untuk membiayai kehidupan rumah tangga suami istri, maka harta perkawinan itu
dapat kita golongkan dalam beberapa macam, sebagaimana di bawah ini:
a. Harta yang diperoleh / dikuasai suami atau istri sebelum perkawinan, disebut
“harta bawaan”. Biasanya di dalam masa sebelum melanggsungkan
perkawinan, para kerabat ataupun keluarga memberikan harta bawaan sebagai modal
awal dalam mebina keluarga.[6] Harta
bawaan ini dapat dibedakan antara harta peninggalan, harta warisan, harta hibah
dan harta hadiah. harta seperti ini disebut PIMBIT (NGAJU- Dayak), SILSILA
(Makasar) (BABAKTAN- Bali) (ASAL- ASELI-PUSAKA- Jawa- Jambi- Riau) (GONO, GAWAN- Jawa) (BARANG SASAKA,
BARANG BANDA, BARANG BAWA- Jawa Barat). Barang-barang atau harta ini tetap
menjadi milik suami atau istri yang menerimanya dari warisan atau penghibahan,
juga termasuk kalau mereka bercerai. Apabila salah satu dari mereka meninggal
dunia serta mereka tidak mempunyai anak, maka barang-barang itu kembali kepada
keluarga dari suami atau istri yang masih hidup.[7] Berikut
akan kami terangkan mengenai macam-macam harta bawaan:
1) Harta peninggalan adalah harta atau barang-barang yang dibawah oleh suami atau
istri kedalam pernikahan yang berasal dari peninggalan orang taua untuk
diteruskan penguasaan dan pengaturan pemanfaatanya guna kepentingan para ahli
waris bersama, di kerenakan harta peninggalan itu tidak terbagi-bagi kepada
setiap ahli waris.
2)
Harta warisan adalah
harta atau barang-barang yang dibawah oleh suami atau istri kedalam perkawinan
yang berasal dari harta warisan orang tua untuk dikuasai dan dimiliki secara
perseorangan guna memelihara kehidupan berumah tangga.
3)
Harta wasiat adalah
harta atau barang-barang yang dibawah oleh suami atau istri kedalam perkawinan
yang berasal dari hibah atau wasiat anggota kerabat.
4)
Harta pemberian atau
hadiah adalah harta atau barang-barang yang dibawah oleh suami atau istri
kedalam perkawinan yang berasal dari pemberian atau hadiah para anggotas
kerabat dan mungkin juga orang lain karena hubungan baik.[8]
b. Harta yang diperoleh / dikuasai suami istri secara perseorangan sebelum
atau sesudah perkawinan, disebut “harta penghasilan”. Tidak sedikit seorang suami atau istri
telah memiliki harta kekayaan sendiri yang diperolehnya dari kerja kerasnya
sendiri. Harta kekayaan tersebut harta penghasilan. Harta penghasilan pribadi
ini terlepas dari pengaruh kekuasaan kerabat, pemiliknya dapat saja melakukan
transaksi atas harta kekayaan tersebut tanpa bermusyawarah dengan para anggota
kerabat yang laim. Namun demikian, apabila barangnya adalah barang tetap, pada
umumnya masih harus bermusyawarah.
Barang-barang yang diperoleh sebelum perkawinan di Sumatera Selatan disebut
Harta Pembujangan kalau suami yang memperolehnya, sedangkan kalau yang
memperolehnya adalah istri maka disebut Harta Penantian. Di Bali tanpa melihat
siapa yang memperolehnya disebut Guna Kaya. Barang-barang yang diperoleh dalam
masa perkawinan pada umumnya jatuh kedalam Harta Perkawinan, milik bersama
suami istri dan apabila terjadi perceraian maka masing-masing dapat menuntut
bagiannya. Asas ini sudah menjadi umum sehingga dimana asas ini tidak dapat
diterima maka orang dapat mengatakan bahwa di tempat itu terjadi pengecualian.[9]
Di aceh setelah perkawinan adakalanya suami mendapat penghasilan sendiri
dari hasil usahanya sendiri, terpisah dari harta pencaharian. Di Jawa Barat
dalam bentuk perkawinan antara istri kaya dengan suami miskin (nyalindung
kagelung), maka suatu harta kekayaan hasil pencaharian istri adalah hak milik
istri itu sendiri, walaupun suami bersusah payah membantu dengan tenaganya. Di
Jawa Tengah beda lagi, apabila terjadi perkawinan dimana suami lebih kaya dari
istri, maka semua hasil pencaharian suami yang diperoleh dalam ikatan
perkawinan adalah milik suami itu sendiri. [10]
c. Harta yang diperoleh / dikuasai suami istri bersama-sama selama perkawinan,
disebut “harta pencaharian”. Dengan dasar modal kekayaan yang diperoleh
suami istri dari harta bawaan masing-masing dan harta penghasilan masing-masing
sebelum perkawinan, maka setelah perkawinan dalam usaha suami istri membentuk
dan membangun rumah tangga keluarga yang bahagia dan kekal, mereka berusaha
mencari rizki bersama-sama, sehingga dari sisa belanja sehari-hari akan dapat
terwujud harta kekayaan sebagai hasil pencaharian bersama.[11]
Dengan dasar tanpa mempedulikan apakah suami yang bekerja aktif dan istri
mengurus rumah dan anak-anak. Harta yang suami-istri peroleh tersebut disebut
“harta bersama suami-istri”.Kekayaan milik bersama suami istri ini disebut
Harta Suarang- Minangkabau, Barang perpantangan- Kalimantan, Cakkara- Bugis,
Druwe Gabro- Bali, Barang Gini, Gono Gini- Jawa.[12] Apabila
salah seorang meninggal dunia, lazimnya semua milik bersama itu tetap berada di
bawah kekuasaan pihak yang masih hidup, seperti halnya semasa perkawinan. Pihak
yang masih hidup itu berhak untuk menggunakan barang-barang milik bersama itu
guna keperluan hidupnya. Namun apabila keperluan sehari-hari sudah cukup, maka
kelebihannya dapat dibagikan kepada ahli warisnya. Apabila ada anak, maka
anaklah yang mendapat harta asal. Apabila tidak ada anak, maka dibagikan kepada
kerabat suami dan kerabat istri.[13]
d. Harta yang diperoleh suami istri bersama ketika upacara perkawinan sebagai
hadiah, yang kita sebut “hadiah perkawinan”.[14] Barang-barang yang diterima sebagai hadiah
perkawinan pada waktu pernikahan biasanya diperuntukkan kepada kedua mempelai,
baik yang berasal dari pemberian para anggota kerabat maupun bukan anggota
kerabat. Oleh karenanya maka barang-barang tersebut menjadi harta milik bersama
suami istri.[15]
Akan tetapi, dilihat dari tempat, waktu dan tujuan pemberian hadiah itu, maka
harta hadiah perkawinan dapat dibedakan antara yang diterima oleh mempelai
pria, yang diterima oleh mempelai wanita, dan yang diterima kedua mempelai
bersama-sama ketika upacara resmi pernikahan. Hadiah perkawinan yang diterima
mempelai pria sebelum upacara perkawinan, misalnya berupa uang, ternak, dan
lain-lain, dapat dimasukkan kedalam harta bawaan suami, sedangkan yang diterima
mempelai wanita sebelum upacara perkawinan masuk dalam harta bawaan istri.
Tetapi semua hadiah yang didapat ketika kedua mempelai duduk bersanding dan
menerima upacara selamat dari para hadirin adalah harta bersama kedua suami
istri, yang terlepas dari pengaruh kekuasaan kerabat, atau hanya dibawah
pengaruh orang tua yang melaksanakan upacara perkawinan itu yang kedudukan
hartanya diperuntukkan bagi kedua mempelai bersangkutan.[16]
Sebagai contoh, di daerah lampung, dalam upacara perkawinan, barang-barang
ringan yang diperoleh saat mereka bersanding seperti kain atau yang sejenisnya
diberikan kepada anggota kerabat atau tetangga yang telah membantu memberikan
tenaganya di dapur, terutama kepada kaum wanita tua dan muda, yang sudah kawin
maupun yang belum kawin. Sedangkan hadiah perkawinan yang berat dan berharga
disimpan untuk dimanfaatkan kedua suami istri dalam pergaulan adat dan atau
untuk dimanfaatkan bagi kepentingan membangun rumah tangga. Barang-barang
hadiah ini merupakan hak milik bersama yang dapat ditransaksikan atas kehendak
dan persetujuan bersam suami istri. Di daerah lain barang-barang hadiah
perkawinan bercampur dengan harta pencaharian. Apabila terjadi pemberian hadiah
uang atau barang oleh suami kepada istri pada saat pernikahan yang dalam hal
ini merupakan “pemberian perkawinan suami”, hal ini seperti “jinamee” (Aceh),
“sunrang” (Sulawesi selatan) atau “hook” (minahasa) begitu pula pemberian
perhiasan dari suami kepada istri di tapanuli, maka kedudukan pemberian suami
ini sama dengan “mas kawin” yang menjadi milik dari istri itu sendiri. Suami
tidak boleh menggunakan barang-barang tersebut tanpa ada persetujuan dari
istri.[17]
D.
Kesimpulan
Dalam uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa harta
perkawinan adalah harta kekayaan yang dimiliki oleh suami istri, baik diperoleh
sebelum perkawinan, berupa warisan, hasil kerja keras suami atau istri , hadiah
pernikahan maupun harta kekayaan yang diperoleh suami istri secara
bersama-sama. Dan harta perkawinan tersebut digunakan untuk menghidupi keluarga
yang terbentuk dari perkawinan tersebut yakni suami, istri, dan anak-anak.
Daftar pustaka
Buku:
Hadikusuma,
Hilman. 2003. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Bandung: Mandar Maju
Setiady, Tolib. 2009. Intisari Hukum Adat. Bandung: ALFABETA
Soeknto,
Soerjono. 2010. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: PT RAJA GRAFINDO PERSADA
Website:
[2] Hilman
Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Mandar Maju,
2003), Hlm. 197
[3]
Tolib Setiady, Intisari
Hukum Adat(Bandung: ALFABETA, 2009). Hlm. 273
[4] Ibid, Hlm. 274
[5]
Soerjono
Soeknto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT RAJA GRAFINDO PERSADA,
2010), Hlm. 244
[6] Soerjono
Soeknto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT RAJA GRAFINDO PERSADA,
2010), Hlm. 245
[7]
Tolib Setiady, Intisari
Hukum Adat(Bandung: ALFABETA, 2009). Hlm. 275
[9]
Tolib Setiady, Intisari
Hukum Adat(Bandung: ALFABETA, 2009). Hlm. 277
[10]
Ibid, Hlm. 278
[12]
Hilman
Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Mandar Maju,
2003), Hlm. 197
[13]
Tolib Setiady, Intisari
Hukum Adat(Bandung: ALFABETA, 2009). Hlm. 279
[15]
Tolib Setiady, Intisari
Hukum Adat(Bandung: ALFABETA, 2009). Hlm. 280